Pengemis Kaya di Indonesia


Semua orang pasti tau dong mengemis semakinlama semakin diminati orang-orang karena penghasilan nya yang sangat menggiurkan. Hal ini membuat sejumlah orang berganti profesi menjadi koordinator dan merekrut sejumlah pengemis untuk dipekerjakan.

1. Marfuah (55 tahun) di kota Samarinda, penghasilannya sebesar Rp 1.8 juta / hari


Satu hal yang mungkin belum aganketahui adalah bisnis pengemis di Samarinda yang boleh dikata seperti mendulang emas. Bayangkan penghasilan pengemis disana sebesar Rp 1.8 juta / hari (baca baik-baik! per hari lho ya gan, bukan per bulan), itu pun kalau pas lagi sepi. Kalau lagi ramai, sering bisa lebih dari jumlah tersebut.Oleh sebab itu, gaklah heran kalau banyak sekali orang-orang yang merekrut sejumlah pengemis dari Pulau Jawa untuk dipekerjakan di Samarinda. Menurut cerita bahwa di Samarinda hanya “uang besar” yang diberikan, membuat para pengemis dari sejumlah kota di Jawa, memilih hijrah ke kota ini. 

Kisah pengemis berpenghasilan besar ini dialami oleh Marfuah, seoarng wanita yang sudah berumur sekitar 55 tahun. Padahal wilayah operasinya cuma di Jl Gatot Subtoro, Samarinda Utara dirinya bisa meraup paling gakRp 1.8 juta per hari. Wanita tua ini berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur (Jatim). Dilihat dari cacat fisiknya, semua orang pasti iba dan menaruh kasihan. Marfuaah menderita cacat bawa lahir dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Lengannya kecil tanpa bertelapak tangan. Hanya ada kaki kirinya, itu pun kecil. Karena kondisinya tersebutlah, Marfuah harus berjalan dengan cara ngesot. Melihat seorang ibu tua berjalan dengan cara memilukan tersebut, banyak masyarakat yang hatinya tersentuh dan gak ragu-ragu memberikan uang dalam jumlah besar. Kalau pengemis lain paling mendapat lembaran Rp1.000, Marfuah mampu memperoleh lembaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. 

Akan tetapi rejeki nomplok ibu tua ini ternyata harus berakhir  (untuk sementara) karena dirinya diamankan oleh Satpol PP di Jl Gatot Subroto pada tgl 9 Agustus 2010 kemarin. Rencananya, Marfuah akan dipulangkan ke kampungnya lewat Surabaya, pada Kamis (12/8) mendatang menggunakan KM Binaiya melalui Pelabuhan Samarinda. Walaupun menyandang cacat fisik, Marfuah masih kuat untuk melawan pada saat diamankan. Bahkan dirinya meraung-raung minta dilepaskan. Namun beberapa anggota Satpol PP tetap saja membawanya bersama dengan gepeng laiinnya ke sebuah truk yang memang sudah disiapkan dan dibawa ke Panti Sosial Tresna Wredha Nirwana Puri di Jl Mayjen Sutoyo, Samarinda Utara. Waktu ditemui Sapos, Marfuah enggak berbiacara. Hanya Bbberapa kata yang keluar dari mulutnya ketika ditanya darimana asalnya, itupun gakjelas terdengar. Akan tetapi dari logatnya, bisa ditebak kalau dia berasal dari Madura. 

2. Cak To (53 Tahun) di Kota Surabaya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta/bulan.  


Cak To, begitu dia biasa dipanggil. Besar di keluarga pengemis, berkarir sebagai pengemis, dan sekarang jadi bos puluhan pengemis di Surabaya. Dari jalur minta-minta itu, dia sekarang punya dua sepeda motor, sebuah mobil gagah, dan empat rumah. Berikut kisah hidupnya.
Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ”karir”-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.
Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. 


Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.

Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004. *** Gakmudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik. Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang gakterlihat seperti ”orang mampu”. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.
Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut gakpeduli. ”Yang penting halal,” ujarnya mantap. Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurut dia, gaklama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ”Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,” ungkapnya. Karena mengemis di Bangkalan kurang ”menjanjikan”, awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya gakikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.
Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ”bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat. Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ”Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,” ungkapnya bangga. Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas.
Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),” tegasnya. Selain harus menghadapi preman, pengalaman gakmenyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ”Kami berpencar kalau mengemis,” jelasnya. Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau gakmau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

3. Pengemis di Bandung Minta Gaji Rp 10 Juta


the next gan ada di Wali Kota Bandung, Senin (30/9/2013), diwarnai protes ratusan gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan pedagang asongan.
Para pengunjuk rasa ini memprotes penertiban yang dilakukan Satpol PP berdasar kebijakan yang dikeluarkan Wali Kota.
Saat unjuk rasa berlangsung, Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, tengah memimpin rapat pimpinan. Ia pun menghentikan rapat dan menemui para pengunjuk rasa.
"Kami butuh makan dan hidup. Carikan kami pekerjaan yang layak jika gakboleh di jalanan," teriak sejumlah pengunjuk rasa yang disambut teriakan pengunjuk rasa lainnya.
Menghadapi protes ini, Emil berusaha tenang dan memberikan solusi mengajak untuk bekerja yang lebih terhormat daripada pengemis. Ia berharap para pengemis, pengamen, dan anak jalanan beralih profesi, gaklagi meminta-minta.
"Gakada manusia yang gakingin bahagia. Saya punya anak kecil, saya sedih melihat anak- anak mengamen, harusnya belajar tapi karena kebutuhan ekonomi malah keluyuran di jalan," ujar Emil.
Emil pun menawarkan solusi kepada para pengemis untuk bekerja menjadi penyapu jalan. "Kota Bandung butuh banyak petugas kebersihan. Saya menawarkan itu kepada Ibu-ibu. Karena saya ingincara yang baru untuk menuntaskan masalah. Kita bisa dapat uang secara halal dengan cara- cara baik dan terhormat," ujar Emil.
Emil juga menawarkan tempat tinggal di mes Persib yang memiliki kamar mandi dan tempat tidur yang layak daripada di emperan dan kolong jembatan.
Namun para pengemis dan gelandangan ini menangapi dingin solusi yang ditawarkan Emil. Sebagian pengemis menunjukkan ketidaksukaan atas rencana Emil dan sebagian mengeluh karena gakmau menjadi tukang sapu.
"Kalau mau dipekerjakan seperti itu, apakah Bapak siap menggaji sesuai dengan kebutuhan mereka? Apakah Bapak bisa menggaji mereka Rp 4 sampai Rp 10 juta? Kalau hanya gaji 700 ribu, gakakan cukup," ujar Priston, salah seorang orator dari kelompok yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Jalanan.
Selama mendengarkan permintaan yang kurang logis dari pengunjuk rasa, Emil hanya geleng- geleng kepala. Emil akhirnya secara tegas meminta kepada pengemis untuk mau mengikuti ketentuan dari Pemkot Bandung. Jika tidak, penertiban akan terus dilakukan.

4. Pendapatan Pengemis 9-18 Juta Rupiah/bulan (Jakarta)



Yang selanjutnya gan ada di Kampung Pengemis - Jakarta. Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Inilah kampung pengemis. Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka berasal dari Indramayu, Jawan Barat.
Dulunya kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong. Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun menggantikan tanaman singkong. “Sampai sekarang meski perkebunan singkong sudah gakada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,” kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.
Seiring perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan ramai. Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli "danger" sebab banyak residivis yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini.
Selain dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan berkurang. Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis. Mereka adalah warga Indramayu.
“Setiap bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini mengontrak rumah," ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan Jatinegara.
Tarif kontrakan milik Hanson bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah yang ukurannya 3x6 meter dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan. Untuk petakan yang di atas yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang dikenakan Rp 150 ribu- Rp 250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya listrik.

5. Pengemis Tergengsi se Indonesia, tinggalnya di Hotel


Sejumlah warga Kota Juang Bireuen, Aceh, mengaku terheran-heran dengan perilaku pria berinisial Abd (50), warga Desa Blang Paseh, Sigli, Pidie.
Pasalnya, pria tersebut mencari nafkah dengan mengemis di Bireuen. Tapi, pada malam hari ia bersama istrinya, Njh (41), justru menginap di hotel.
Pengemis bertubuh tambun dan berjenggot pirang, dengan rambut yang sudah ubanan itu, kini dilaporkan mulai meresahkan masyarakat Bireuen.
Hasil penelusuran Serambi Indonesia, hingga Sabtu (19/2/2011) lalu, si pengemis sudah dua pekan menginap di hotel tersebut. “Kami heran ada pengemis tidur di hotel. Kalau siang mengemis di desa kami, padahal ia tampak sehat dan segar bugar,” ujar Yahya, seorang warga.
“Setiap pagi kami temukan bapak berjengot itu pakai baju koko, kain sarung, dan peci haji bersama istrinya sarapan pagi di sebuah warung dekat hotel tempat ia menginap,” imbuh warga Geulanggang Baroe, Kota Juang, Bireuen.
Mustafa dan Amirul Mukminin dari Desa Geulanggang Baroe juga sependapat dengan Yahya. Mereka berharap Pemkab Bireuen melalui dinas terkait menertibkan pengemis yang makin banyak berkeliaran di kabupaten itu.
Salah satunya pengemis yang menginap di hotel tersebut. “Aneh tapi nyata, ada pengemis yang hidup mewah dengan menginap di hotel dan makan mewah pula,” pungkas Amirul.
Seorang petugas Hotel Purnamaraya yang konfirmasi Serambi Indonesia, membenarkan Abd bersama istrinya sudah 14 hari menginap di kamar bernomor 118. Anehnya, kata seorang petugas hotel, setiap Abd keluar hotel, pintu kamarnya digembok dari luar, sementara istrinya ditinggal di kamar hotel.
“Dia biasanya pergi pagi, terkadang pulangnya siang membawa sebungkus nasi untuk istrinya dan terkadang juga pulang sore. Dia membayar sewa kamar Rp 75.000 per hari. Sikapnya juga aneh dan egois serta sering ribut dengan petugas hotel. Kadang-kadang ia hanya mau membayar sewa kamar kepada saya,” kata seorang resepsionis hotel yang tidak mau namanya ditulis.
Abd terlihat bersama istrinya sarapan pagi di sebuah warung sebelah barat hotel tersebut. Ia membayar dengan uang pecahan ribuan yang sudah tergulung rapi.
Dia mengambil dari saku kanan bajunya, yang diduga dari hasil mengemis. Namun, pria asal Sigli itu berbicara menggunakan bahasa campuran Aceh-Indonesia, baik dengan istri maupun warga.
Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bireuen, Bustami Hamid, mengatakan pihaknya akan menertibkan para pengemis yang berkeliaran di daerah itu yang jumlahnya ratusan orang.
“Para pengemis tersebut 50 persen berasal dari luar Kabupaten Bireuen. Kami akan minta polisi, TNI, dan Satpol PP atau aparat gabungan untuk menertibkan mereka,” pungkasnya.

Previous
Next Post »

Berkomentarlah dengan baik dan benar Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment